Selamat Datang di blog Oragnisasi Anak Pulau Simeulue-Jakarta

Potensi Wisata Kab.Simeulue - Nad

Hadist

Jangan Main Api

Jumat, 18 September 2009

BeritaAceh


Selasa, 13 Oktober 2009 | 10:15
Qory Jelekkan Syariat Islam
Membunuh Karakter Masyarakat असह

LHOKSEUMAWE-Kecaman terhadap Putri Indonesia 2009, asal Aceh, Qory Sandrioriva yang tidak memakai jilbab pada saat mengikuti kontestan PPI, terus berdatangan dari berbagai elemen. Bahkan wanita kelahiran Jakarta ini dituding sengaja telah menjelekkan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh.

“Dia (Qory Sandrioriva –red) tidak menjaga aurat, juga pergaulan yang dilakukan. Ini menjelekkan Syariat Islam yang berlaku di Aceh,” tegas Irza Ismail, Ketua Komisariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kota Lhokseumawe, kepada koran ini, kemarin ketika dihubungi.

Bahkan pria ini menuding kalau penampilan dan sikap Qory tidak sesuai dengan karakter dan sifat orang Aceh. Apalagi Qory sendiri berani mengatasnamakan orang Aceh pada saat mengikuti Pemilihan Putri Indonesia (PPI). ”Kita menduga dengan kemenangan Qory menjadi Putri Indonesia 2009, ada permainan politik di dalamnya. Sebab, Qory itu sendiri telah menjelekkan daerah Syariat Islam yang berlaku secara kaffah di Aceh,” ulang mahasiswa ini.

Akibatnya dampak dari tidak memakai jilbab ini, urai Irza, maka daerah-daerah lain menilai kalau daerah Aceh sama saja dengan daerah lain. Dan tidak ada hal yang istimewa baik itu dalam berpakaian maupun dalam pergaulan sehari-hari.

Untuk itu KAMMI mengecam tindakan yang telah dilakukan oleh Qory Sandrioriva.
“Kita akan melakukan aksi bila Qory Sandrioriva datang ke Aceh. Kita juga menolak Qory sebagai duta yang mewakili provinsi Aceh,” ancam Ketua Komisariat KAMMI Kota Lhokseumawe ini.

Bunuh Karaktek Masyarakat Aceh
Terpilihnya Qory Sandrioriva sebagai Puteri Indonesia 2009 yang menyebutkan dirinya perwakilan Provinsi Aceh dalam kontes kecantikan tingkat nasional itu, dinilai illegal dan tak pernah mendapat restu atau rekomendasi baik dari pemerintah Aceh sendiri maupun Rakyat Aceh. Hal itu ditegaskan Ketua Umum HMI Cabang Langsa, Masrizal, S.Pd kepada koran ini kemarin.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Langsa, ujar Masrizal, mengecam keras pelabelan mewakili Aceh oleh Puteri Indonesia terpilih tersebut. Bahkan HMI menilai penabalan mewakili Provinsi Aceh oleh Puteri Indonesia tersebut, karena tidak pernah mendapatkan rekomendasi.

“Bahkan kita juga menilai label mewakili Aceh pada diri Qory Sandrioriva itu illegal, karena secara nyata dia (Puteri Indonesia-red) bukanlah warga Aceh atau keturunan langsung dari Aceh, jadi dia tidak berhak mewakili provinsi Aceh dalam kontes kecantikan itu, bahkan saya selaku putra Aceh yakin dan percaya pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh sendiri tidak pernah merestui atau merekomendasikan puteri Aceh untuk ikut dalam kontes kecantikan tersebut, karena hal itu sangat bertentangan dengan adat dan kebudayaan Aceh yang kental dengan nilai agamanya,” ujarnya.

Masrizal juga menilai, penabalan mewakili Aceh pada diri puteri Indonesia secara tidak langsung, telah membunuh karakter masyarakat Aceh itu sendiri. Karena secara nyata saat ini provinsi Aceh sangat berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia, dimana Aceh memiliki kekhususan yaitu penerapan Syariat Islam.

Maka keikutsertaan peserta kontes kecantikan yang mewakili Provinsi Aceh tersebut patut dipertanyakan darimana dan siapa yang memberikan rekomendasi sehingga bisa tampil sebagai peserta dalam ajang tingkat nasional tersebut.

“Kita tidak persoalkan sosok pribadi Qory Sandrioriva mengikuti kontes puteri Indonesia, itu hak pribadinya. Namun yang kita persoalkan adalah label mewakili Provinsi Aceh, siapa yang berikan izin, apalagi Wabub sendiri dalam media sudah mengatakan pemerintah Aceh tidak pernah memberikan rekomendasi perwakilan Aceh kepadanya (puteri Indonesia) dalam kontes tersebut,” tegas Masrizal lagi.

Bahkan Masrizal menegaskan, bahwa kemenangan Qory Sandrioriva sebagai Puteri Indonesia 2009 dengan mengaku dirinya perwakilan provinsi Aceh, tidak menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Karenanya Masrizal meminta kepada Pemerintah Aceh agar mengambil sikap tegas dan mempertanyakan kepada puteri Indonesia izin perwakilan Aceh yang dilabelkan padanya. (msi/dai)







BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menyatakan belum menerima naskah Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan DPRA tanggal 15 September lalu dan tentu saja ia belum menelaah isinya। Itu sebab, ia masih enggan berkomentar lebih jauh tentang kedua qanun tersebut। “Saya tidak mau berkomentar dulu soal Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Komentar saya sama dengan pernyataan di koran
Serambi hari ini (kemarin -red),” kata Gubernur Irwandi kepada wartawan saat berkunjung ke Kawasan Peternakan Terpadu di Samalanga, Kabupaten Bireuen, Jumat (17/9) malam.

Namun, saat ditanyai komentarnya mengenai permintaan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDI) Aceh, Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, agar dia mundur dari jabatan kalau tidak mau menandatangani qanun tersebut, Irwandi malah meminta yang bersangkutan mengurus urusannya sendiri. Gubernur, kata Irwandi, berhak atas tiga hal. Yakni, berhak menandatangani, berhak menolak, dan berhak diam. Namun, dia mengaku akan melihat dulu isi Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat tersebut.

Sampai tadi malam dia mengaku belum membaca isi dari kedua qanun tersebut. “Nanti, kalau sudah saya terima akan saya kirimkan ke Mendagri,” tambah Gubernur Irwandi. Sebagaimana diberitakan kemarin, atas nama Gubernur, Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, A Hamid Zein, menyatakan meskipun Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat telah disahkan DPRA, tapi pihak eksekutif tetap menolak qanun tersebut dengan alasan karena dimasukkannya hukum rajam sampai mati di dalamnya.

“Eksekutif sejak awal dalam setiap pembahasan dengan pansus selalu menyatakan tidak sependapat dimasukkan hukum rajam dalam Qanun Jinayat. Penolakan kita itu dicatat secara resmi dalam notulensi rapat Pansus XII,” kata Hamid Zein. Malah, menurut Hamid, dalam jawaban resmi eksekutif terhadap pendapat komisi, termasuk usul dan saran anggota DPRA, juga dinyatakan tidak sependapat hukum rajam dimasukkan dalam Qanun Jinayat.

Ketika didesak apa sikap Pemerintah Aceh karena qanun tersebut sudah disahkan DPRA, menurut Hamid, manakala secara resmi Pemerintah Aceh sudah menyatakan tidak setuju, maka sepanjang belum diselaraskan (dikeluarkan penerapan hukum rajam dalam qanun itu), maka Gubernur Aceh tidak akan menandatanganinya. (yos)

Aceh

JAKARTA - Pemerintah pusat memperbolehkan Pemerintah Aceh membentuk Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) sendiri yang khusus mengelola bidang hulu. Persetujuan tersebut akan dituangkan dalam butir Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Migas yang sekarang sedang dalam proses finalisasi. Demikian, antara lain, hasil konsultasi antara pemerintah pusat yang dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendari), Mardiyanto, dengan Tim Pemantau Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dibentuk DPR RI, Rabu (16/9) malam, di Jakarta.

Rapat konsultasi tersebut dipimpin Ketua Tim Pemantau Implementasi UUPA Bentukan DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan. Rapat itu merupakan kelanjutan rapat sebelumnya yang membahas secara khusus RPP dan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) sebagai turunan (derivasi) langsung dari UUPA. “Dengan dicapainya persetujuan tersebut, diharapkan proses penerbitan RPP Migas tidak lagi terhambat. Selama ini, soal pembentukan BP Migas tersendiri oleh Aceh menjadi perdebatan antara Kementerian ESDM dengan Pemerintah Aceh,” kata anggota Tim Pemantau, Ahmad Farhan Hamid.

Kata Farhan, nantinya BP Migas yang dibentuk Pemerintah Aceh hanya mengelola bagian hulu, sementara hilirnya masih diangani BP Migas Nasional. Menurut Farhan, hal itu terkait dengan pola pemberian subsidi dari APBN. “Begitupun, perlu ditegaskan menyangkut kewenangan, keuangan, dan hal-hal yang berkaitan dengan organisasi. Kementerian ESDM akan melanjutkan pembahasannya bersama unsur Pemerintah Aceh,” ujar Farhan Hamid mengutip hasil rapat konsultasi.

Rapat yang berlangsung setelah buka puasa bersama itu juga berhasil menyepakati 25 kewenangan pemerintah bersifat nasional. Sisanya --tujuh kewenangan lagi-- akan diselesaikan dalam bulan Oktober mendatang. Menyinggung tentang perubahan Badan Pertanahan menjadi perangkat daerah, menurut Farhan Hamid, sudah dikordinasikan intensif antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Depdagri. “Rumusan substansi mulai dikerjakan dan akan dibahas interdep pada 1 Oktober mendatang,” ujar Farhan.

Sementara RPP Pelimpahan Kewenangan Pemerintah ke Dewan Kawasan Sabang (DKS) sudah dibahas 11 September 2009 dengan pokok bahasan bidang Migas agar bisa diserahkan perizinannya ke BPKS, sedangkan pola pengelolaan keuangannya disepakati seperti badan layanan umum (BLU) dengan instansi induknya adalah Departemen Perdagangan. Yang masih belum tuntas hanyalah kewenangan menerbitkan tanda pendaftaran tipe (TPT) terhadap kendaraan impor yang memasuki kawasan Sabang.

Seperti diketahui, Sabang sebagai free trade zone (FTZ) bebas memasukkan semua jenis barang, termasuk kendaraan bermotor, kecuali yang dilarang memasuki wilayah NKRI. “Kita desak agar semua hal yang masih ada hambatannya itu harus dicapai titik temu sebagaimana diperintahkan UUPA,” kata Farhan Hamid. Dijadwakan, Tim Pemantau bersama wakil pemerintah pusat akan berkunjung ke Aceh pada 25 September 2009 untuk menyerahkan hasil kesepakatan yang akan dimuat dalam RPP. (fik)

Dapat Bentuk BP Migas सेंदिरी



0 komentar:

Posting Komentar